Tragedi Juliana Tewas di Rinjani Usai 3 Hari Jatuh ke Jurang – Peristiwa menyedihkan menimpa Juliana Marins, seorang pendaki asal Brasil berusia 26 tahun, saat melakukan pendakian di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat.
Juliana jatuh ke jurang rinjani yang curam pada Sabtu pagi, 21 Juni 2025, dalam insiden yang mengundang perhatian luas dan memicu reaksi keras dari netizen Brasil terhadap proses penyelamatan yang dinilai lambat.

Tragedi Juliana Tewas di Rinjani Usai 3 Hari Jatuh ke Jurang
Ketegangan pun mencuat di media sosial, terutama setelah beredar video drone yang memperlihatkan Juliana masih hidup beberapa jam setelah jatuh, namun baru berhasil dijangkau tim SAR beberapa hari kemudian.
Kronologi Insiden dan Video Drone yang Viral
Insiden terjadi di kawasan Cemara Nunggal, jalur menuju puncak Rinjani melalui rute Sembalun. Lokasi tersebut dikenal berbahaya karena kontur lerengnya yang tajam dan dipenuhi bebatuan, ditambah kondisi kabut tebal pagi itu yang menghalangi pandangan. Berdasarkan informasi yang beredar, Juliana sempat meminta jeda karena merasa lelah.
Namun, rekan-rekannya melanjutkan pendakian mengingat cuaca yang tidak menentu dan waktu yang terbatas. Tak lama berselang, sekitar pukul 09.40 WITA, pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani menerima laporan mengenai insiden tersebut.
Pihak berwenang segera mengirim tim gabungan yang terdiri dari personel Basarnas, TNI, Polri, petugas TNGR, BPBD, serta relawan. Di hari yang sama, seorang wisatawan asal Spanyol menerbangkan drone yang berhasil menangkap gambar Juliana berada sekitar 300 meter di bawah jalur utama.
Dalam rekaman itu, ia tampak duduk dengan tubuh lemah namun masih bergerak, dikelilingi area berbatu dan berabu. Video ini kemudian menyebar luas di media Brasil dan memunculkan tekanan publik terhadap kecepatan operasi penyelamatan.
Namun, upaya evakuasi yang dilakukan pada Sabtu dan Minggu tidak membuahkan hasil karena kondisi medan yang licin serta kabut yang sangat tebal. Saat drone kembali diterbangkan keesokan paginya, keberadaan Juliana tak lagi terdeteksi di titik semula.
Ia diduga terperosok lebih dalam ke jurang. Pada Senin, drone thermal mendapati keberadaan tubuh Juliana di kedalaman 500 meter, dalam kondisi tak bergerak. Baru pada Selasa, 24 Juni, tim SAR berhasil mencapai lokasi dan mengonfirmasi bahwa korban telah meninggal dunia.

Tanggapan Netizen Indonesia dan Upaya Pemerintah
Reaksi dari warganet Indonesia muncul sebagai bentuk pembelaan terhadap petugas SAR. Mereka menilai bahwa medan di Gunung Rinjani sangat ekstrem dan sulit diakses dalam waktu cepat. Seorang pengguna X dengan akun @faiueo\_\_ menegaskan bahwa medan terjal dan kabut pekat tidak bisa diremehkan.
Pengguna lain, @MurtadhaOne1, juga menambahkan bahwa bukan keengganan tim SAR yang memperlambat pencarian, melainkan kondisi geografis yang menyulitkan. Beberapa warganet juga menjelaskan bahwa drone untuk dokumentasi berbeda dengan drone logistik, yang memerlukan kemampuan khusus agar tidak terhempas angin kuat.
Pemerintah Indonesia turut mengambil langkah konkret. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menjalin komunikasi intensif dengan Basarnas, Kapolda NTB, serta Gubernur Lalu Muhamad Iqbal, untuk mengupayakan bantuan helikopter dari PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Namun, operasi udara juga dibatasi oleh cuaca ekstrem.
Di sisi lain, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyampaikan rasa duka kepada keluarga Juliana dan menegaskan bahwa pihaknya akan memperketat prosedur keselamatan di area wisata ekstrem. Ia juga memastikan bahwa komunikasi dengan Kedutaan Besar Brasil berjalan lancar dan terbuka.
Sebagai bentuk tindak lanjut, Kepala Balai TNGR, Yarman Wasur, memutuskan untuk menutup jalur pendakian Sembalun sejak 24 Juni guna mendukung kelancaran proses evakuasi. Sementara itu, Basarnas menerjunkan tim elit Basarnas Special Group (BSG) dengan perlengkapan khusus untuk tebing vertikal. Meski demikian, dua overhang besar yang menggantung di tebing menyulitkan pemasangan tali dan titik pijakan, memperlambat proses pencapaian lokasi korban.

Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan
Juliana Marins (27), wisatawan asal Brasil, ditemukan tewas pada Selasa (24/6/2025) setelah terjatuh ke jurang saat mendaki Gunung Rinjani. Peristiwa ini memunculkan sorotan tajam dari Marcelo Gramani, pakar geologi dari Instituto de Pesquisas Tecnológicas (IPT), yang menilai masih lemahnya sistem keamanan dan penanganan darurat di kawasan wisata alam tersebut.
Dalam laporan CNN Arena yang terbit Kamis (26/6), Gramani menyatakan keprihatinannya atas lambannya proses evakuasi, serta mempertanyakan kesiapan rencana darurat yang seharusnya sudah disiapkan oleh pihak pengelola Rinjani. Menurutnya, saat berada di lingkungan alam yang penuh risiko baik dari sisi medan maupun cuaca, pemandu dan pengelola wajib memiliki strategi yang matang dalam menghadapi situasi kritis.
Ia menyebutkan bahwa lokasi jatuhnya Juliana bukanlah titik yang asing bagi insiden serupa. Kawasan tersebut sebelumnya telah mencatat beberapa kecelakaan, yang seharusnya menjadi peringatan untuk memperkuat pengawasan dan pengamanan. Gramani juga menegaskan bahwa prinsip dasar dalam aktivitas pendakian adalah memastikan tidak ada individu yang ditinggalkan sendirian, terutama di area rawan bahaya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan alasan penghentian sementara dalam proses pencarian, padahal posisi korban sudah terdeteksi melalui citra dari drone. Ia menilai, dengan pengetahuan medan dan kondisi cuaca yang sudah dimiliki petugas, keterlambatan seperti itu seharusnya bisa dihindari.

Gramani turut menyoroti kurangnya peralatan yang memadai serta tidak adanya regu penyelamat yang berjaga secara tetap di area yang dikenal memiliki tingkat bahaya tinggi. Ia mempertanyakan mengapa tidak ada struktur atau sistem peringatan yang permanen di wilayah tersebut, mengingat rekam jejak insiden yang sudah ada.
Kritik juga diarahkan pada keputusan pengelola Taman Nasional yang tetap membuka jalur pendakian di tengah situasi darurat. Menurutnya, seharusnya seluruh kegiatan dihentikan sementara dan fokus diarahkan sepenuhnya pada proses penyelamatan korban.
Gramani menekankan pentingnya pemetaan risiko di kawasan wisata alam, bukan untuk membatasi akses, melainkan guna membangun kesadaran akan pentingnya keselamatan. Hal ini mencakup pelatihan khusus bagi para pemandu, pemasangan tanda peringatan, serta penyediaan fasilitas darurat di lokasi yang rawan kecelakaan.
Ia menambahkan bahwa aspek keselamatan seharusnya menjadi bagian dari nilai jual suatu destinasi wisata. Wisatawan akan merasa lebih tenang bila tahu ada sistem penanganan yang siap bertindak saat kejadian tak terduga terjadi.
Diketahui, Juliana terjatuh pada Sabtu pagi (21/6) di kawasan Cemoro Nunggal setelah mengalami kelelahan dan tertinggal dari rombongannya yang melanjutkan pendakian bersama pemandu. Operasi pencarian dan evakuasi melibatkan berbagai pihak seperti tim SAR gabungan dari kepolisian, pemerintah daerah, Basarnas, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, masyarakat setempat, dan para pemandu. Prosesnya menghadapi hambatan karena kondisi medan yang terjal dan cuaca yang tidak bersahabat.
Jika saja tim sar bisa bergerak dan berpikir kritis dan cepat tanggap dan segera menurunkan beberapa orang personil dengan peralatan penunjang 1 orang membawa alat medis p3k, 1 oeang membawa tabung oksigen yg di perlukan sebagai life support, 1 orang membawa bekal untuk mengurangi hypothermia, dan 1 orang lagi membawa perbekalan makan dan minuman untuk bekal sementara mereka berada di bawah, mungkin saat ini Juliana masih dapat bertahan hidup sambil menunggu regu penyelamat dan bantuan yang lain.
