Detik Pulsa – Musim Baru yang Aneh Bermunculan dan ada 2 dari Indonesia, Musim yang kita kenal perlahan berubah seiring aktivitas manusia yang semakin memengaruhi Bumi.

Musim Baru yang Aneh Bermunculan dan ada 2 dari Indonesia
Pola musim yang teratur Dahulu kini tidak lagi konsisten, padahal selama berabad-abad, musim menjadi acuan tetap bagi kegiatan pertanian, perayaan budaya, hingga rutinitas masyarakat yang selaras dengan siklus alam.
Dalam penelitian terbaru, Felicia Liu dari University of York bersama Thomas Smith dari London School of Economics and Political Science menyebut bahwa kini muncul musim-musim baru yang bersifat antropogenik, yakni terbentuk akibat ulah manusia.
Contohnya adalah “musim kabut asap” yang terjadi di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia, ketika udara dipenuhi asap selama berminggu-minggu akibat pembakaran hutan dan lahan di musim kemarau. Ada pula “musim sampah” di Bali yang berlangsung setiap November hingga Maret ketika arus laut membawa limbah plastik ke pesisir.
Di sisi lain, ada musim-musim yang justru menghilang, membawa dampak besar bagi ekosistem dan budaya. Misalnya, berkurangnya musim kawin burung laut di Inggris utara atau berakhirnya tradisi olahraga musim dingin karena salju semakin jarang turun di daerah pegunungan.

Ritme baru alam
Selain musim baru, muncul pula fenomena yang disebut “syncopated seasons” atau syncopated seasons, yang diibaratkan seperti perubahan ritme dalam musik. Fenomena ini meliputi musim panas yang semakin panas, musim dingin yang lebih hangat, serta cuaca ekstrem yang semakin sering dan intens. Pergeseran waktu terjadinya peristiwa penting, seperti gugurnya daun atau kedatangan hewan migrasi, kini semakin sulit diprediksi.
Istilah lain yang digunakan adalah “musim aritmik”, merujuk pada pola musim dengan ritme yang tidak teratur. Hal ini mencakup musim semi atau masa kawin yang lebih awal, musim panas atau musim tanam yang lebih panjang, serta musim dingin atau hibernasi yang semakin singkat.
Perubahan ini memutus sinkronisasi siklus hidup tumbuhan dan hewan, yang berdampak pada ekosistem serta komunitas yang bergantung secara ekonomi, sosial, dan budaya.
Contoh lain terlihat di Thailand utara, di mana intervensi manusia mengubah ritme alam dan memengaruhi pasokan air serta pangan. Masyarakat di tepi anak sungai Mekong selama generasi telah mengandalkan aliran musiman sungai untuk menangkap ikan dan bercocok tanam.
Pembangunan bendungan di hulu mengganggu siklus ini dengan menghalangi migrasi ikan dan mengurangi sedimen yang dibutuhkan lahan pertanian. Perubahan iklim memperburuk kondisi tersebut, membuat musim kemarau lebih panjang dan musim hujan lebih singkat namun lebih intens, memicu kebakaran dan ketidakpastian bagi petani.

Reaksi manusia
Reaksi manusia terhadap perubahan pola musim dapat memperbaiki maupun memperburuk kondisi lingkungan. Di Asia Tenggara, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap “musim kabut asap” telah mendorong perbaikan sistem prakiraan cuaca, pemasangan filter udara di rumah, hingga pembentukan program kesehatan publik.
Langkah-langkah tersebut membantu masyarakat beradaptasi, namun jika hanya berfokus pada penyesuaian tanpa mengatasi penyebab utamanya, kabut asap berpotensi semakin parah.
Kesadaran akan munculnya musim baru ini justru dapat membuat kabut asap dianggap hal yang wajar, sementara tuntutan untuk menindak deforestasi dan kebakaran semakin terpinggirkan.
Lembaga-lembaga besar sering membentuk narasi krisis musiman untuk mengurangi tanggung jawab dan mengalihkan kesalahan kepada pihak lain. Memahami dinamika ini penting agar akuntabilitas tetap terjaga dan solusi yang diambil bersifat adil.
Perubahan musim menuntut kita untuk meninjau kembali cara memandang waktu dan hubungan dengan lingkungan. Saat ini, sebagian besar orang mengukur waktu dalam hitungan hari, jam, dan menit, mengikuti standar global yang digunakan di berbagai aspek kehidupan, mulai dari ponsel hingga jadwal transportasi.
Namun, cara ini mengabaikan metode tradisional yang berakar pada ritme alam, seperti datangnya musim hujan atau siklus peredaran Matahari dan Bulan, yang menjadi bagian penting dari budaya masyarakat di berbagai wilayah. Perspektif ini, khususnya dari pengetahuan lokal dan masyarakat adat, dapat memperkuat respons terhadap perubahan lingkungan.
Menggabungkan cara perhitungan waktu berbasis alam ke dalam praktik umum dapat membantu menghasilkan solusi yang lebih adil dan efektif. Seperti disampaikan peneliti, musim bukan sekadar pembagian waktu, melainkan jembatan antara manusia dan alam. Menemukan keseimbangan dengan ritme musim yang terus berubah menjadi kunci membangun masa depan yang berkelanjutan.
