Deepfake AI Digunakan di Kasus Penipuan Baru – Jika sebelumnya kecerdasan buatan hanya digunakan sebatas hiburan seperti filter lucu, kini penyalahgunaannya dapat menimbulkan ancaman serius.
Teknologi deepfake bahkan memungkinkan pihak tidak bertanggung jawab untuk mencuri identitas, yang berujung pada kerugian besar.

Deepfake AI Digunakan di Kasus Penipuan Baru
Hal ini disampaikan oleh Niki Luhur, pendiri sekaligus CEO Grup VIDA. Ia menekankan bahwa perlindungan data pribadi masih kerap diabaikan. Padahal, aktivitas digital seperti transaksi daring menyimpan potensi ancaman tersembunyi melalui pertukaran informasi sensitif.
“Situasi yang kita hadapi sekarang jauh dari ideal. Keamanan digital sedang diuji oleh berbagai bentuk kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan AI. Penipuan semacam ini bukan hanya menyebabkan kerugian materi, tetapi juga dapat merusak nama baik penyedia layanan,” kata Niki dalam peluncuran dokumen resmi bertajuk VIDA Deepfake Shield di Plaza Senayan, Jakarta, Selasa (24/4/2024).

“Awalnya teknologi ini cuma untuk bersenang-senang, seperti mempercantik wajah atau mengubah jadi hewan. Tapi sekarang bisa digunakan untuk menyamar jadi orang lain, bahkan lebih berbahaya jika ada yang menyamar jadi diri kita sendiri,” lanjutnya.
Salah satu contoh nyata dari bahaya deepfake terjadi pada perusahaan global yang menderita kerugian hingga HKD 200 juta atau sekitar Rp 400 miliar akibat aksi penipuan tersebut.
Peristiwa ini bermula ketika seorang pegawai dari kantor perwakilan perusahaan itu di Hong Kong menerima pesan yang tampaknya berasal dari CFO kantor pusat di Inggris. Dalam isi pesan, pegawai tersebut diminta melakukan transaksi bersifat rahasia.
Namun, ia tidak langsung percaya begitu saja. Ia kemudian diundang untuk bergabung dalam panggilan video, yang tampak dihadiri oleh CFO dan beberapa staf lainnya. Belakangan terungkap bahwa pertemuan virtual tersebut sepenuhnya palsu dan dibuat menggunakan teknologi deepfake.

Faktanya, hanya pegawai itu saja yang benar-benar hadir, sedangkan peserta lainnya adalah penipu yang memanfaatkan rekaman visual dan audio publik untuk meniru wajah dan suara orang-orang yang mereka samarkan.
Dalam rapat tersebut, si korban diarahkan untuk melakukan pengiriman dana sebanyak 15 kali ke lima rekening berbeda di Hong Kong, hingga total kerugiannya mencapai HKD 200 juta.
“Kali ini, dalam sebuah konferensi video yang terlihat profesional, ternyata semua orang di layar adalah hasil manipulasi,” ungkap Chan.
Ia juga menambahkan bahwa para pelaku menggunakan gambar dan suara yang sangat menyerupai individu yang ditiru, membuatnya sulit untuk dibedakan dari yang asli.
