4 Tanaman Ini Bisa untuk Bertahan Hidup dari Kiamat Nuklir – Jika dunia tiba-tiba dilanda musim dingin nuklir akibat bencana global, jutaan jiwa terancam kelaparan. Namun, para ilmuwan kini telah mengidentifikasi jenis tanaman yang sebaiknya dibudidayakan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat kota dalam kondisi pasca-apokaliptik.

4 Tanaman Ini Bisa untuk Bertahan Hidup dari Kiamat Nuklir
Sebuah studi terbaru mengungkap bahwa menanam bayam, bit gula, gandum, dan wortel di kawasan perkotaan dan sekitarnya dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduk kota berukuran sedang dalam skenario dunia yang dilanda krisis global.
Para peneliti mengembangkan studi sebelumnya untuk menentukan Jenis Tanaman paling Tahan dan efisien yang dapat dikembangkan pasca bencana besar, seperti perang nuklir, pandemi parah, atau badai Matahari. Tujuan utama penelitian ini adalah menemukan metode paling efektif untuk menyediakan makanan bagi masyarakat dengan memanfaatkan lahan sekecil mungkin.
“Studi ini sebenarnya tidak dipicu oleh situasi geopolitik saat ini,” ungkap Matt Boyd, peneliti utama sekaligus pendiri Adapt Research, sebuah lembaga riset independen, seperti dikutip dari Live Science pada Sabtu (24/5/2025).
“Namun, penelitian ini justru menjadi sangat relevan jika melihat kondisi dunia saat ini,” lanjut Boyd.
Konteks terbaru yang memperkuat urgensi studi ini termasuk ketegangan politik global yang sulit diprediksi, konflik bersenjata yang masih berlangsung di Timur Tengah dan Eropa, potensi penyalahgunaan kecerdasan buatan, serta dampak kerusakan lingkungan yang kian memburuk akibat perubahan iklim.
Pada Januari 2025, Jam Kiamat atau Doomsday Clock memperlihatkan betapa dekat umat manusia dengan kehancuran besar. Jarum jam simbolis tersebut hanya tinggal satu detik dari tengah malam, menunjukkan tingkat ancaman tertinggi terhadap kelangsungan spesies manusia.
Dalam penelitian yang dirilis pada 7 Mei 2025 di jurnal ilmiah PLOS One, para peneliti mengeksplorasi kemungkinan penduduk kota menumbuhkan makanan mereka sendiri untuk bertahan hidup jika dunia menghadapi bencana besar.
Studi ini mempertimbangkan dua kondisi berbeda. Pertama, skenario bercocok tanam di wilayah urban dalam situasi iklim normal. Kedua, skenario penanaman tanaman yang tahan terhadap efek musim dingin nuklir yang ekstrem.

Tanaman yang Efisien untuk Bertahan Hidup dalam Kota
Dalam kondisi iklim normal, kacang polong menjadi tanaman paling cocok ditanam di kota beriklim sedang. Tanaman ini kaya protein dan bisa tumbuh subur di kawasan urban. Menurut Boyd, menanam kacang polong merupakan cara efisien untuk mencukupi kebutuhan pangan seseorang karena hanya memerlukan sedikit lahan.
Namun, kacang polong tidak tahan terhadap suhu dingin ekstrem. Jika terjadi musim dingin nuklir—yang bisa dipicu oleh perang nuklir, letusan supervolcano, atau tumbukan asteroid besar—debu dan jelaga yang terlempar ke atmosfer akan menghalangi cahaya Matahari, membuat suhu turun dan menghambat proses fotosintesis tanaman.
Dalam situasi ekstrem seperti itu, kombinasi tanaman seperti bayam dan bit gula dianggap lebih tangguh dan cocok ditanam. Studi ini juga mempertimbangkan skenario darurat untuk memilih tanaman yang paling efisien dalam penggunaan lahan sekaligus menghasilkan kalori dan protein yang cukup.
Penelitian yang dilakukan oleh Boyd bersama Nick Wilson dari Universitas Otago menggunakan data meta-analisis dari hasil panen di berbagai kota dunia untuk menentukan tanaman terbaik. Salah satu temuan menarik, kacang polong hanya butuh lahan seluas 292 meter persegi untuk mencukupi kebutuhan gizi satu orang per tahun, sedangkan kombinasi wortel dan kubis memerlukan hampir tiga kali lipat luasnya.

Palmerston North, kota kecil di Selandia Baru berpenduduk sekitar 90 ribu jiwa, dipilih sebagai lokasi simulasi. Wilayah ini memiliki karakteristik mirip banyak kota lain di dunia—berada di daratan pedalaman dengan dominasi rumah-rumah tapak berhalaman luas. Para peneliti menggunakan citra satelit dari Google untuk menghitung total lahan hijau seperti taman, pekarangan, dan kebun yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian.
Hasilnya, kota tersebut hanya mampu memenuhi sekitar 20% kebutuhan pangan penduduknya melalui pertanian dalam kota di bawah iklim normal. Saat terjadi musim dingin nuklir, kapasitas itu turun menjadi 16%. Sisanya, diperlukan tambahan lahan di luar kota, sekitar sepertiga dari luas wilayah kota, untuk menanam tanaman tambahan yang produktif.
Sebagai contoh, dibutuhkan sekitar 1.140 hektar lahan tambahan untuk produksi pangan, ditambah 110 hektar ladang kanola untuk menghasilkan biodiesel sebagai bahan bakar traktor dan alat pertanian. Untuk lokasi luar kota, kentang dinilai paling cocok dalam cuaca biasa, sementara perpaduan 97% gandum dan 3% wortel dianggap ideal saat suhu menurun drastis karena ketahanan gandum terhadap dingin.
Ahli ekologi lanskap Theresa Nogeire-McRae dari American Farmland Trust, yang tidak terlibat langsung dalam studi ini, mengapresiasi metode riset tersebut dan menganggap hasilnya masuk akal. Ia menegaskan bahwa banyak kota dibangun di tanah subur dekat aliran sungai—sumber daya yang sangat berharga dan seharusnya dimanfaatkan maksimal.
Meski begitu, Boyd menekankan bahwa kualitas tanah adalah faktor penting yang dapat memengaruhi hasil pertanian. Ia juga mengasumsikan bahwa sistem pengairan tetap berfungsi dalam skenario bencana global. Ia menyadari bahwa masyarakat tidak akan hidup hanya dari kacang polong selama satu tahun penuh, namun pendekatan efisiensi tetap dibutuhkan untuk mengoptimalkan ruang yang ada.
Boyd berharap hasil studi ini bisa menjadi pijakan awal bagi kota-kota yang ingin membentuk kebijakan lahan berbasis ketahanan pangan. Ia menekankan bahwa kebijakan yang terlihat ideal dari sisi ekonomi bisa berubah makna jika kita mempertimbangkan aspek keselamatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan masyarakat.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1299767/original/051056500_1469608582-End_of_the_World.jpg)